Globalisasi dan Diaspora: Brain Drain Tenaga Medis di Tanzania

 


Diaspora sebagai isu krusial dalam hubungan internasional menemukan titik pentingnya ketika kondisi perekonomian global demikian terintegrasi melalui proses globalisasi. Globalisasi yang berimplikasinya pada integrasi perekonomian global membawa konsekuensi pada semakin tingginya mobilisasi penduduk antar negara dengan pola zero sum, yakni dari negara berkembang menuju negara maju, dari negara konflik menuju negara yang menjamin keamanan migran.[1] Dalam kaitan ini negara yang menjadi asal diaspora akan mengalami brain drain akibat adanya human capital flight[2] yang menyebabkan suatu negara mengalami kekurangan skilled worker. Logika berpikir di atas dielaborasi untuk menjawab pertanyaan relasional bagaimana diaspora menjadi isu krusial dalam hubungan internasional dalam relasinya dengan proses globalisasi? Untuk mengelaborasi argumen di atas tulisan ini menganalisis terjadinya brain drain tenaga kesehatan di Tanzania sebagai hasil dari ketimpangan perekonomian global.

Global Inequality Sebagai Faktor Pendorong Brain Drain

Teorisasi globalis percaya bahwa globalisasi membawa konsekuensi terintegrasinya sistem ekonomi dunia dengan hasil akhir equality dalam konteks ekonomi.[3] Argumen globalis dalam konteks ini mendapat kontraposisi dari argumen skeptis yang berpandangan bahwa integrasi ekonomi dalam globaliasi tidak berdampak positif terhadap global equality. Posisi skeptis berargumen bahwa integrasi perekonomian dunia berdampak pada terpusatnya kapital di wilayah Eropa dan Amerika Serikat. Relasi antara fenomena diaspora dan globalisasi ekonomi menemukan rujukan teoritiknya pada argumen kaum skeptis ini. Bahwa diaspora disebabkan oleh adanya ketimpangan ekonomi antar negara, menjadi argumen penyebab diaspora dari segi ekonomi. Grafik berikut menunjukan ketimpangan perekonomian global berdasarkan wilayah regional.  


(http://japanfocus.org/data/share_of_world_gdp.png)

Dari data di atas nampak bahwa mulai tahun 1969 sampai setidaknya 2009, formasi kapital dunia terpusat di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan wilayah Asia yang menjadi wilayah paling luas di dunia terpaut 20 poin dari negara-negara Eropa dan 15 poin dari Amerika Serikat. Dalam grafik di atas setidaknya nampak bahwa ketimpangan paling besar secara regional adalah negara-negara di wilayah Afrika. Margin GDP wilayah Afrika secara akumulatif terpaut 30 poin dari negara-negara Uni Eropa meskipun angka tersebut telah diakumulasikan dengan wilayah Timur Tengah.

Global Inequality yang terjadi menyebabkan faktor ekonomi menjadi faktor pendorong bagi migrasi skilled labour yang merasa mempunyai kualifikasi dan kesempatan untuk mendapat jaminan ekonomi yang lebih layak.[4] Kondisi ini menyebabkan terjadi migrasi penduduk yang sifatnya permanen atau temporer dari negara dengan ekonomi rendah menuju negara dengan jaminan ekonomi tinggi. Migrasi ini kemudian menimbulkan persoalan karena terjadi adanya asymmetry of supply and demand.[5] Kondisi ini didasarkan pada permintaan yang terbentuk di negara maju hanya melibatkan skilled labor sedangkan negara miskin sebagai penyedia memiliki jumlah unskilled labor yang berlebih. Migrasi yang dilakukan oleh unskilled labor tidak mendapat area yang cukup di negara host sehingga yang terjadi adalah fenomena migrasi ilegal. Migrasi ilegal ini akan menimbulkan masalah kependudukan dan kriminalitas baru bagi negara host. Selain itu, masalah brain drain juga diperparah dengan asymmetries of opportunity, yaitu ketidakmampuan negara miskin untuk menyediakan jaminan kesejahteraan bagi tenaga profesionalnya sehingga skilled labor pun meninggalkan negara home dan membuat proses pembangunan menjadi stagnan.

Dalam ekonomi yang demikian terintegrasi kondisi ini memunculkan konsekuensi permasalahan yang lain. Terhambatnya pembangunan disatu negara akan berpotensi secara sistematis menyebabkan. Permasalahan di negara-negara sekitarnya. Secara sistemik Van Hear berargumen bahwa dalam interkoneksi globalisasi, hal ini menjadi permasalahan global yang krusial. Ketertinggalan pembangunan di satu negara akan berdampak sistemik di negara lain, melalui proses spill over migration atau perpindahan penduduk secara masif. Penduduk yang merasa mempunyai kualifikasi untuk mendapat aspek ekonomi yang layak berpindah secara masif ke negara yang dianggap mampu menyediakan hal tersebut.[6]  Fenomena ini dapat dilihat pada konteks wilayah Afrika Sub Sahara yang mengalamai brain drain petugas medis sehingga layanan kesehatan di negara-negara Subsahara menempati lima puluh terbawah peringkat WHO.[7] Secara spesifik pada pembahasan ini akan dibahas mengenai contoh kasus Tanzania yang mengalami eksodus petugas kesehatan terbesar di negara-negara SubSahara.[8]

Medical Staff Brain Drain di Tanzania

Secara umum Tanzania menempati peringkat ke 156 dari 190 negara yang disurvey oleh WHO dalam konteks kualtias pelayanan kesehatan. Hal ini mengindikasikan bahwa Tanzania berada pada kualitas yang rendah dalam penyediaan pelayanan kesehatan. Tidak hanya negara Tanzania, melainkan hampit seluruh negara Afrika di wilyaha sub sahara menempati peringkat rendah dalam kualitas pelayanan kesehatan versi WHO. Salah satu argumen yang menjelaskan hal ini adalah karena adanya eksodus tenaga medis yagn terjadi di wilayah Afrika Sub Sahara menuju negara-negara yang lebih menjanjikan secara ekonomi, seeprti Perancis, Inggris dan Amerika Serikat. Jika ditarik ke ranah global, kondisi kekurangan tenaga medis profesional ini dialami oleh 57 negara pada tahun 2010, dengan komposisi sebanyak 36 negara adalah negara Afrika Sub Sahara.[9] Berkut daftar negara-negara yang memiliki persoalan eksodus tenaga medis.

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa negara-negara Sub Sahara menjadi wilayah pusat permasalahan brain drain dalam konteks tenaga kesehatan. Jika dibadningkan kondisi global dari pelayanan kesehatan ini, dua negara Amerika Serikat dan Kanada mempunyai tenaga medis profesional sebanyak 37% dari total tenaga medis dunia, sedangkan seluruh wilayah Sub Sahara, hanya mempunyai 3% dari toal tenaga medis dunia.[10]

Dari negara-negara Sub Sahara Afrika, negara yang paling tinggi eksodus tenaga medis dalah Tanzania. Sebanyak 52% dari tenaga medis yang terdaftar sebagai warga negara Tanzania bekerja di luar negeri.[11] Mayoritas tenaga medis Tanzania terpusat diwilayah perkotaan, dibanding wilayah pedesaan. Sebanayak 90% dari total tenaga medis Tanzania yang bekerja di wilayah domestik tanzania terpusat di kota besar.[12] Sedangkan jika dibandingkan dengan pekerja medis yang bekerja di luar negeri, sebanyak 1356 pekerja medis bekerja di luar negeri sedangkan 1264 orang yang terdaftar sebagai staf medis di dalam negeri Tanzania. Hal ini salah satu faktor yang menyebabkan tingkat pelayanan kesehatan Tanzania menempati peringkat rendah pada peringkat WHO.

Globalisasi Ekonomi Sebagai Penyebab Brain Drain

Menganalisis faktor penyebab brain drain di Tanzania setidaknya dapt dikategorisasi menjdi dua yakni menjadi faktor pendorong dan penarik. Faktor pendorong dalam konteks Tanzania adalah kondisi domestik Tanzania yang tidak terlalu menguntungkan terhadap pekerja profesional. Sebagai contoh upah minimum yang diterima pekerja kesehatan di Tanzania adalah 677,00 Shiling Tanzania yang setara dengan $ 0.3901 per hari.[13] Jika dibandingkan dengan Perancis yang menyediakan gaji pekerja kesehatan profesional sebesar $3,300 per tahun,[14] jumlah di Tanzania tepaut sangat jauh dari di Perancis. Selain itu persoalan infrastrukttur kesehatan juga menjadi faktor pendorong brain drain yagn terjadi di Tanzania. Mengutip Manongi et al., “We don't have a microscope or even a laboratory. So we are only doing diagnosis and using our experience to decide.”[15] Pernyataan di atas menggambarkan kondisi yang terjadi di Tanzania dalam bidang kesehatan.

Selain faktor pendorong, faktor penarik dari luar yang menjadi penyebab brain drain di Tanzania adalah adalanya kemudahan-kemudahan yagn difasilitasi globalisasi. Sebagai contoh globalisasi dalam bidang trasnprotasi dan komunikasi memungkinkan diaspora pekerja kesehatan di Tanzania untuk tetap terkoneksi dengan keluarga dan struktur budaya yang berada di Tanzania. Selain itu, jenjang karir yang lebih jelas juga menjadi faktor penarik diaspora Tanzania ke luar negeri.[16] Hal non material ini yang menjadi salah satu penarik diaspora Tanzania ke luar negeri. dari segi material, dimensi ekonomi menjadi justifikasi dominan dalam fenomena ini. Potensi kondisi ekonomi yang lebih baik menjadi faktor dominan terjadinya diaspora Tanzania dalam bidang kesehatan.

Munculnya kedua faktor tersebut baik pendorong maupun penarik adalah sebagai akibat adanya integrasi ekonomi global yang menyebabkan adanya gap antar antar negar asemakin nampak. Kembali ke data yang di sampaikan diawal tulisan bahwa GDP dunia didominasi oleh Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan Afrika menempati posisi terbawah. Hal ini diakibatkan oleh globalisasi yang membuka kemungkinan untuk melakukan capital flight dan human flight secara global sehingga konsentrasi kapital terpusat pada nagara –negara Eropa dan Amerika Serikat.

Tanzania menjadi contoh terjadinya Brain Drain yang terrelasi dengan fenomena diaspora dan globalisasi ekonomi. Integrasi ekonomi global memperjelas gap yag terjadi antara negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sehingga muncul faktor pendorong dan penarik penduduk Tanzania untuk melakukan diaspora ke negara-negara yang dianggap lebih prostpektif dalam hal ekonomi. Globalisasi menyediakan fasilitas ini melalui kemampuannya menyediakan saluran bagi human flight dan capital flight. 



[1] Van Hear, Nicholas.  1998. Migrants and Hosts, Transnationals and Stayers dalam New diasporas: The Mass Exodus, Dispersal and Regrouping of Migrant Communities. University of Washington Press

[2]LeGrain, Philippe. 2006. “Brain Drain or Brain Gain? the Cost and Benefits of Skilled Emigration”, dalam Immigrants: Your Country Needs Them, London: Little Brown

[3] Bhagwati, Jagdish. 2004. In Defense of Globalization, Oxford: Oxford University Press.

[4] Juma, Adinan. 2012. Brain Drain of Health Professionals in Tanzania. New York: Cornell University.

[5] Bhagwati, Jagdish. 2004. In Defense of Globalization.

[6] Van Hear, Nicholas.  1998. Migrants and Hosts, Transnationals and Stayers.

[7] WHO. 2000. World Health Report. Jenewa.

[8] Juma, Adinan. 2012. Brain Drain of Health Professionals in Tanzania.

[9] United Nations. 2010. Health Workers, International Migration, And Development. Population Facts-010/2/E. Department Of Economic And Social Affairs http://www.un.org/esa/population/publications/popfacts/popfacts_2010-2.pdf

[10] Mmbando, E. 2009. Uniting Tanzanian Medical Students To Reverse The Brain Drain. Speaking Of Medicine. http://speakingofmedicine.plos.org/2009/09/28/uniting-tanzanian-medical-students-toreverse-the-brain-drain/

[11]Clemens, M. A., and G. Pettersson. 2008. New Data On African Health Professionals Abroad. Human Resources For Health 6 (1). http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1478-4491-6-1.pdf

[12] Juma, Adinan. 2012. Brain Drain of Health Professionals in Tanzania

[13] Wageindicator.org. 2014. Minimum Wages in Tanzania with effect from 01-07-2013 to 30-06-2016. [online] dalam http://www.africapay.org/tanzania/home/salary/minimum-wages

[14] Saphiro, Joshep. 2008. Health Care Lessons From France. [online] dalam http://www.npr.org/templates/story/story.php?storyId=92419273

[15] Manongi, R. N., T. C. Marchant, and I. C. Bygbjerg. 2006. Improving Motivation Among Primary Health Care  Workers In Tanzania: A Health Worker Perspective. Human Resources For Health 4 (6).  http://www.human-resources-health.com/content/4/1/6

[16] Juma, Adinan. 2012. Brain Drain of Health Professionals in Tanzania

 

0 comments