Konsep keamanan dalam globalisasi bergeser dari perspektif state centric menuju ke arah human security. Argumen ini setidaknya didasarkan pada definisi konsep globalisasi yang menyebutkan beberapa hal terkait menguatnya interkoneksi antar masyarakat karena perkembangan teknologi informasi (Petras 2003). Dalam pendekatan yang sama, Martin Albrow (1990) menjelaskan fenomena globalisasi sebagai suatu keadaan ketika masyarakat dunia tergabung menjadi satu komunitas yaitu komunitas global. Kemudian Khor (1995) menyebutkan bahwa Globalization is what we in the Third world have for several centuries called colonization. Lebih kompleks lagi Baylis dan Smith (2001) menjelaskan interpretasi globalisasi sebagai suatu penguatan interaksi antar kelompok masyarakat sehingga kejadian-kejadian di belahan suatu belahan dunia bisa memberi efek yang maksimal pada belahan dunia lain. Pergeseran tersebut membuat dimensi keamanan semakin meluas, tidak hanya terbatas pada hard politics, namun lebih banyak mengenai low politics. Tulisan ini menjelaskan bahwa globalisasi menggeser kontur keamanan dengan memunculkan persepsi ancaman yang lebih variatif dan juga pergeseran bentuk perang dari real war menuju virtual war sebagai bagian dari human security.
Munculnya Isu-Isu Human Security
Interkoneksi yang semakin menguat antar masyarakat di dunia kemudian meredefinisi paradigma terkait keamanan. Menurut Castell (1996) motor penggerak utama dari globalisasi adalah perkembangan teknologi informasi yang kemudian membentuk struktur masyarakat global yang terkoneksi. Konektivitas masyarakat global memaksa paradigma keamanan untuk berkembang, dari state centric menuju human security. Hal ini disebabkan karena proses interaksi antar masyarakat tidak lagi terjadi hanya melalui perantara negara, namun juga dalam hubungan personal. Sebelum berakhirnya Perang Dingin, interaksi antar masyarakat lintas negara terbatas pada apa yang representasi negara katakan dan lakukan, namun dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, interaksi sosial tidak lagi terikat pada negara. Dalam penjelasan Kaldor (2006, 73) bahwa globalisasi merubah struktur interaksi masyarakat menjadi interaksi yang sifatnya horizontal dalam konteks sosio-ekonomi.
Model interaksi yang sifatnya sosio-ekonomi kemudian memunculkan isu-isu baru dalam persepsi keamanan. Kondisi aman yang sebelum Perang Dingin dipersepsi sebagai kondisi ketiadaan perang, kemudian tergeser oleh isu-isu seperti isu lingkungan, upah pegawai, stabilitas keuangan yang sifatnya lebih low politics. Scholte (2000, 28) berargumen “Today notions of security in world politics tend also to encompass guarantee of ecological integrity, subsistence, financial stability, employment, cultural identity, social cohesion and knowledge.”
Dalam era globalisasi dalam konteks interkoneksi, aspek-aspek yang disebutkan Scholte menjadi isu yang penting dalam security dan seringkali saling terkait satu dengan yang lainnya. Duffield (2001, 188) menyampaikan “War and peace are characterised by high levels of unemployment and underemployment.” Sebagai contoh dalam konteks interkoneksi ekonomi, ketika terjadi Yunani 2010 negara-negara dalam Uni Eropa merasa tidak aman dengan kondisi krisis Yunani. Kemudian diberikan bantuan kepada Yunani dalam bentuk pinjaman moneter. Terintegrasinya mata uang Yunani dan Uni Eropa membuat aspek financial stability menjadi dimensi penting dari security. Hal ini disebabkan oleh pengaruh krisis Yunani ditengah masyarakat Uni Eropa yang terintegrasi sangat signifikan. Terlepas dari bantuan ekonomi yang diberikan, krisis Yunani memberi ancaman serius terhadap human safety di Uni Eropa (rieas.gr 2014). Ketika terjadi krisis Yunani, terjadi penurunan social security standar yang harus dipenuhi oleh warga yang tinggal di Yunani. Hal ini kemudian memicu imigran yang ada di negara-negara dengan social security tinggi seperti Inggris dan Turki mulai bermigrasi ke Yunani (rieas.gr 2014). Data statistik dari rieas.gr (2014) menunjukan migrasi pendudukan menuju Yunani terus mengalami peningkatan dari tahun 2010 sampai tahun 2014. Jika kondisi ini dibiarkan di tengah masyarakat yang terintegrasi seperti Uni Eropa maka dampak krisis Yunani dan juga migrasi menuju Yunani menjadi sangat signifikan terhadap negara-negara di sekitarnya. Karena jika Yunani mengalami kehancuran ekonomi maka mata uang Euro akan mengalami permasalahan signifikan. Kasus Yunani membuktikan bahwa urusan sosio-ekonomi domestik suatu negara dapat menjadi ancaman serius terhadap keamanan negara lain.
Contoh lain dari segi kultur adalah penetrasi makanan barat terhadap kultur konsumtif masyarakat dunia. Dari segi kultur hal ini bermasalah karena menyebabkan mayoritas penduduk dunia mengalami obesitas (Laurance 2011). Obesitas ada dalam setiap kultur masyarakat di berbagai negara, Nauru menempati posisi pertama masyarakat penderita obesitas sebesar 95% dari total populasinya, kemudian Micronesia, Cook Islands, Tonga: all at 92 % Niue: 84 %, Samoa: 83 %, Palau: 81 %, United States: 79 %, Kiribati: 77 %, Dominica: 76 %, Kuwait: 75 %, Argentina: 75 %, Mexico: 73 %, Australia: 71 %, Egypt: 70 %, Greece: 70 %, Belarus: 67 % and United Kingdom: 66 % (Stone, 2010).
Kondisi ini menyebabkan ancaman terhadap keamanan populasi dunia, karena mayoritas penderita obesitas di dunia adalah orang pada usia produktif (Laurence 2011). Ancaman ini hanya mungkin terjadi ketika masyarakat ada dalam kondisi yang terintegrasi. Terintegrasi dalam artian terkoneksi secara kultur, informasi, ekonomi dan politik. Globalisasi menyediakan sarana dan kondisi yang memungkinkan terjadinya masyarakat terintegrasi. Dengan menciptakan masyarakat terintegrasi, globalisasi memposisikan masyarakat dunia sebagai satu kesatuan (Castell 1996). Dari sini kemudian dapat diasumsikan bahwa masyarakat global sebagai satu kesatuan sangat potensial berhadapan dengan potensi ancaman yang sifatnya lokal, namun berkembang kearah global, seperti dicontohkan kasus Yunani dan obesitas sebelumnya. Potensi ancaman lokal yang mengglobal ada dalam paradigma keamanan non tradisional yang difasilitasi oleh proses globalisasi.
Pergeseran Konsep Perang
Munculnya elemen-elemen human security sebagai konsideran penting dalam era globalisasi memunculkan konsekuensi baru, yaitu pergeseran bentuk dari apa yang disebut terkait erat dengan security, yaitu perang. Definisi klasik perang menurut Clausewitz (dalam Gatzke 1942) adalah organized violence. Pada zaman setidaknya sampai berakhirnya Perang Dunia kedua tahun 1945 definisi perang dalam sisi teoritik maupun praktik disepakati menjadi perang fisik dengan menyertakan unsur violence.
Namun ketika berakhirnya perang dingin, sekaligus masa ketika teknologi informasi dan komunikasi mengalami kemajuan pesat sehingga menyebabkan masyarakat terintegrasi, tidak banyak ditemui adanya perang secara fisik dengan melibatkan unsur violence. Hal ini disebabkan karena dalam era globalisasi, aspek ekonomi lebih mendominasi hubungan antar negara (Paul t.t., 3). Hubungan ekonomi dalam kaitan ini dibingkai dalam fenomena transnasionalisasi perusahaan multinasional. Berkembanganya model perusahaan transnasional memaksa negara untuk menggaransi keamanan dalam negaranya (Paul t.t., 3).
Terintegrasinya masyarakat dunia dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuat perang mengalami redefinisi. Perubahan format perang dari real war (Ripsman & Paul 2005) menuju virtual war membawa konsekuensi perubahan mendasar terhadap cara, alat, aktor dan sebab dari perang. Dalam virtual war perang tidak harus dilakukan melalui pertemuan fisik, melainkan dapat dilakukan melalui dunia maya. Tidak perlu adanya kontak senjata namun saling serang antar wacana. Virtual dapat berupa hacking, saling lempar wacana di berbagai media dan serangan virus yang mematikan jaringan komunikasi dan informasi (Ignatieff 2000).
Munculnya bentuk baru dari perang membuat alat yang digunakan untuk melakukan serangan terhadap lawan juga mengalami perkembangan. Ditengah masyarakat yang terintegrasi secara komunikasi dan informasi instrumen militer tidak lagi dianggap efektif untuk menyerang lawan, karena biaya yang tinggi dan mobilisasi yang sulit, sehingga banyak negara melakukan pemotongan anggaran militer pasca perang dingin (Ripsman & Paul 2005). Sebaliknya, media menjadi alat perang yang signifikan, murah dan berdampak luas terhadap masyarakat. Fungsi pembentukan wacana oleh media adalah alat konfrontasi yang potensial dalam masyarakat terintegrasi. Taylor (1997) mengatakan “God made people read so that I could fill their brains with facts, facts, facts-and later tell them whom to love, whom to hate and what to think.” Sebagai contoh ketika muncul karikatur Nabi Muhammad di majalah Jyllands-Posten Denmark, umat Islam di seluruh dunia menunjukan respon protes yang sama (Hansen 2011, 53). Terlepas dari penjelasan mengenai kemunculan fenomena tersebut yang menarik adalah bagaimana efek yang dihasilkan oleh gambar di satu media massa terhadap respon negara-negara. Terjadi protes yang disertai kekerasan di Perancis dan Jerman sebagai bentuk resistensi dari karikatur tersebut. Protes tersebut menyebabkan masyarakat yang memprotes maupun yang terkena dampak dari gelombang protes merasakan kondisi tidak aman akibat dari wacana yang dimuat di media. Globalisasi menghasilkan masyarakat yang terkoneksi dan memfasilitasi terjadi insecurity seperti dijelaskan sebelumnya.
Contoh kasus karikatur Nabi Muhammad tersebut menegaskan bahwa globalisasi telah menggeser aktor negara sebagai otoritas pelaku perang tradisional menjadi multiple aktor yang dapat memicu kondisi dan proses perang. Dalam penjelaskan Kaldor (2006, 73) new form of power struggle may take the guise of traditional nationalism, tribalism or religious fundamentalism. Pernyataan tersebut sekaligus menjelaskan bahwa aktor dalam perang pada masa globalisasi tidak selalu negara, bisa jadi aktor non negara. Dalam kasus karikatur Nabi Muhammad, yang menjadi aktor perang adalah Jyllands-Posten Denmark melawan masyarakat Muslim setidaknya di Jerman dan Perancis.
Setelah membahas bentuk, cara, dan aktor dalam perang, dimensi perang yang mengalami pergeseran adalah dimensi power. Dalam paradigma perang klasik, power adalah kekuatan senjata dan pasukan dari pihak-pihak yang berkonflik. Namun dalam paradigma globalisasi, power adalah network (Dicken 2007). Proposisi perang dalam paradigma klasik adalah siapa mempunyai pasukan dan senjata makin banyak maka dia akan menjadi pemenang. Namun dalam masyarakat yang terintegrasi dalam globalisasi, siapa yang mempunya network paling luas dia akan menjadi pemenang. Contoh paling sederhana dari proposisi ini adalah rivalitas perekonomian Cina dan Amerika Serikat. China muncul sebagai kekuatan baru menyaingi Amerika Serikat karena pertumbuhan ekonomi yang pesat. Hal ini dikarenakan China unggul dalam network sehingga pangsa pasar produk perdagangan Cina mencakup berbagai negara di dunia, selain diaspora Cina yang kemudian membentuk formasi power bagi Cina (Dicken 2007). Dalam konteks ini China dianggap sebagai raising power dalam konteks geopolitik dunia karena kemajuan perdagangannya, sehingga sering dianggap sedikit menggeser dominasi perekonomian Amerika Serikat. Di titik ini globalisasi kemudian memunculkan indikator baru dalam menentukan konstelasi global yaitu berdasarkan peta perekonomian. Sebagaimana disebutkan Dicken (2007) bahwa old geographies of production, distribution and consumption are continuously being disrupted and that new geographies are continuously being created. Ini kemudian menegaskan formasi geopolitik yang ada dan akan terbentuk tidak dapat dilepaskan dari tinjauan aspek produksi dan distribusi sebagai indikatornya.
Lebih lanjut Dicken (2007) menjelaskan mengenai konstelasi dunia yang kemudian membentuk model global shift, yang menguatkan produksi, trade dan direct investment sebagai indikatornya. Berdasarkan tiga indikator dari tersebut, Dicken (2007) mengasumsikan bahwa Amerika Serikat masih menjadi aktor dominan dalam ekonomi global. Disini penulis sedikit berbeda dengan Dicken. Bahwa terminologi menguasai perekonomian global harus dimaknai dengan lebih kritis. Dalam statistika perekonomian Amerika serikat memang dominan, misalnya dalam FDI dan distribusi, namun dalam realitanya barang-barang China lebih banyak dijumpai di pasaran global. Jika merujuk pada hitungan matematis, memang nilai produksi dan distribusi China kalah dengan Amerika, tapi yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa industri China banyak tersusun dari industri bajakan yang tidak terdaftar secara legal. Ini kemudian akan mempengaruhi hitungan statistik perekonomian China secara signifikan.
Seperti disampaikan di awal tulisan, tujuan tulisan ini adalah melihat sejauh mana globalisasi menggeser kontur keamanan dengan memunculkan persepsi ancaman yang lebih variatif dan juga pergeseran bentuk perang dari real war menuju virtual war. Pergeseran tersebut memunculkan paradigma baru dalam memandang konsepsi keamanan dari state centric menjadi fokus pada human security. Konsekuensinya, indikator kondisi aman semakin meluas. Aspek-aspek seperti ecological integrity, subsistence, financial stability, employment, cultural identity, social cohesion and knowledge menjadi konsideran penting dalam postur keamanan dalam globalisasi.
Dengan berasumsi bahwa terjadi pergeseran paradigma keamanan, bentuk dari perang sebagai manifestasi keamanan juga mengikuti alur perubahannya. Perubahan perang dari real war menjadi virtual war diikuti pula oleh pergeseran aktor, alat, cara dan power dalam perang. Aktor yang dulu didominasi oleh state sebagai pelaku perang, mulai bergeser menuju multiple aktor dari non state. Kemudian alat perang yang dulu didominasi militer bergeser menjadi media. Selanjutnya cara berperang pada paradigma klasik yang didominasi oleh benturan fisik digantikan oleh hacking dan saling lempar wacana di media. Dan yang terakhir konsepsi power dalam perang klasik adalah kapasitas militer, sedangkan pada era globalisasi bergeser menjadi kekuatan network.
Daftar Pustaka
Buku dan Artikel Dalam Buku:
Castells, Manuel. 1996. “The Culture of Real Virtuality: the Integration of Electronic Communication, the End of the Mass Audience, and the Rise of Interactive Networks, dalam the Rise of the Network Society, Oxford: Blackwell Publisher.
Dicken, Peter. 2007. “Questioning Globalization”, dalam Global Shift: Mapping the Changing Countours of the World Economy, London: SAGE Publications.
Duffield, Mark. 2001. “Non-Liberal Political Complexes and the New Wars”, dalam Global Governance and the New Wars, London: Zed Books.
Hardt, Michael dan A. Negri. 2004. “Simplicissimus”, dalam Multitude: War and Democracy in the Age of Empire, New York: the Penguin Press.
Ignatieff, Michael. 2000. “Virtual war”, in Virtual war: Kosovo and Beyond, New York: Picador.
Kaldor, Mary. 2006. “the Politics of New Wars”, dalam New & Old Wars: Organized Violence in a Global Era, Cambridge: Polity Press.
Petras, James. 2003. “The Myth of the Third Scientific-Technological Revolution”, dalam The New Development Politics: the Age of Empire Building and New Social Movements, Aldershot: Ashgate.
Ripsman, N.M. dan T.V. Paul. 2005. “Globalisation and the National Security State”, International Studies Review, No. 7.
Scholte, Jan Aart. 2000. “Globalization and (In) Security”, dalam Globalization: a Critical Introduction, New York: Palgrave.
Smith, Steve & Baylis, John (2001) “Introduction,” in Baylis, John & Smith, Steve (eds.), The Globalization of World Politics, 2nd edition, Oxford University Press.
Taylor, Philip M. 1997. “Brushfires and Firefighters: International Affairs and the News Media”, dalam Global Communications, International Affairs and the Media since 1945, London: Routledge.
Sumber Online:
Clasewitz, Carl Von. 1812. “On War”, dalam Gatzke, Hans W. 1942. “Principles of War” [online] dalam http://www.clausewitz.com/readings/Principles/
Hansen, Lene. 2011. “Theorizing Image For Security Studies” [online] dalam http://ejt.sagepub.com/content/17/1/51
Laurance, Jeremy. 2011. “How Tiny Nauru Became World's Fattest Nation,” [online] dalam http://www.independent.co.uk/life-style/health-and-families/health-news/how-tiny-nauru-became-worlds-fattest-nation-2203835.html
RIEAS.gr. 2014. “Immigration to Greece,” [online] dalam http://www.rieas.gr/research-areas/illegal-immigration/2113-immigration-to-greece-february-2014.html
Stone, Emily. 2010. “Fat and Fatter: The World's 10 Fattest Countries 2010,” [online] dalam http://www.globalpost.com/dispatch/health/101118/fat-and-fatter-worlds-10-fattest-countries
0 comments