Asking the Right Question is A Skill

 


Refleksi akhir tahun 2020 sekaligus resolusi tahun 2021 saya adalah untuk bisa “bertanya”. Untuk paham tentang konsep “bertanya”. Untuk paham tentang cara bertanya yang pantas. Untuk bertanyaan pertanyaan yang tepat.

Beberapa waktu yang lalu di HI, bidang yang saya geluti sebelas tahun ini muncul banyak kritik. Konon kabarnya, lulusan HI tidak memiliki skill apapun. By skill, maksudnya adalah kemampuan spesifik yang bisa dipakai untuk masuk pada relasi kerja. Where you are paid to do something, professionally.

Ini pernyataan yang jamak dilontarkan oleh (dan kepada) alumni HI di Indonesia. Kami sudah hafal, tapi tidak berarti kebal. Ini permasalahan laten yang akan terus ada jika tidak ada langkah penyesuaian. Alumni HI akan ditaruh di pojokan bersebelahan dengan alumni prodi lain yang senasib. Dianggap aneh dan tidak jelas arah dan “kegunaannya” dalam masyarakat. Been there, done that!

Bagi saya ada fase di mana kebingungan untuk mengetahui apa yang saya ketahui itu nyata. Di HI diajarkan untuk mengetahui banyak hal. Diberikan, kalau tidak ingin disebut dijejali, banyak bahan bacaan mulai dari yang menggunakan Bahasa Indonesia sampai Bahasa Inggris, mungkin pada kasus tertentu Bahasa Mandarin. Duh!

Saya yang berangkat dari desa dengan semangat menimba ilmu ke kota, jelas membaca semua bahan bacaan yang diberikan dosen. Mau itu 1 eksemplar, dua, tiga, empat sampai pernah satu matakuliah ada sepuluh bahan bacaan. Dipisah dua, required readings dan further readings. Jumlahnya persis masing-masing lima tiap folder.

Saya yakin dosennya pasti sudah baca semuanya. Yakinlah, masak enggak baca terus dikasih ke mahasiswanya? Hehehe.

Logikanya makin banyak baca makin banyak informasi yang masuk. Makin banyak informasi makin paham dong terhadap suatu hal. Tapi yang terjadi makin banyak baca makin bingung. Dosen saya dulu pernah berseloroh, kalau bingung bagus artinya kamu berpikir.

Sebentar Pak, ini kami bingungnya genuine, tanpa rekayasa. Bingung kami lebih dekat ke lost daripada ke thinking. Kan beda ya.

Bingung yang beneran “bingung” sama bingung karena terlalu excited menggali informasi baru. Ibarat bingungnya tuh kayak nginget-nginget jalan ke rumah mantan yang udah nikah dengan orang lain sama mantan yang masih jomblo kan beda bingungnya. Yang pertama lebih besar ngenest nya, yang kedua lebih besar besar excitednya. Misalnya saja lho ya….

Setelah ada di posisi Bapak Dosen saya dulu itu, lha kok persoalannya sama…persis…plek. Makin baca makin bingung bukan hal yang positif. Artinya ada tahapan memproses informasi yang tidak lengkap. Bagi saya membaca sebanyak apapun informasi akan sekedar menjadi informasi belaka tanpa menjadi knowledge yang membentuk cara pandang terhadap realita.

Jika mengambil analogi komputer, menyuruh mahasiswa membaca bahan bejibun hanya akan menambah timbunan data. Lebih banyak informasi yang disimpan di dalam data tersebut. Informasi yang belum tentu bisa digunakan untuk proses komputasi. Data yang belum tentu kita punya piranti lunak yang pas untuk mengolahnya. Anda punya puluhan giga film di harddisk jika tidak punya piranti lunak pemutar film puluhan giga film itu hanya jadi tumpukan data saja. Tidak lebih!

Kita seringkali tahu banyak sekali informasi tapi tidak paham harus bersikap apa, atau bahkan digunakan untuk apa informasi itu. Anak HI, biasanya mahir berbicara dari mulai isu politik di desa sampai kelakukan Amerika Serikat. Dari isu Kpop sampai konspirasi global. Semuanya diborong sendiri. Tapi setelah selesai dengan pendidikan HI nya, bingung mau ngapain. Kerja di bank jadi salah satu pelarian karena menerima semua jurusan.

Dugaan saya hal ini terjadi karena fokus upgrade nya adalah menumpuk data sebanyak-banyaknya tapi tidak membekali audience dengan software pengolah datanya. Mewajibkan audience membaca bahan sebanyak-banyaknya tanpa dibekali dengan cara mengolah informasi dari bacaan tersebut juga membingungkan.

Kita jelas bukan komputer, tapi prinsip kerjanya sama. Informasi yang banyak tanpa kemampuan untuk mengelolanya akan sia-sia. Tidak semua mempunyai prosesor yang cepat dan canggih. Sebaiknya yang diupgrade adalah prosesornya dahulu. Ditambah RAM nya, ditingkatkan kecepatannya, HDD diganti SSD kemudian diinstal program-program yang relevan.

Tidak ada proses instan untuk sampai kesana, namun yang bisa saya bayangkan sejauh ini adalah dengan membiasakan audience untuk bertanya. Lebih fundamental lagi mengajarkan audience kita untuk bertanya.

Bertanya adalah cara untuk menertibkan cara berpikir. Bertanya mengenai apapun. Bertanya hal yang tepat berdasarkan pengamatan dan pembacaan yang serius. Bertanya mengenai apa tertulis di bahan bacaan. Menemukan ide di dalamnya kemudian membuat pertanyaan dari ide tersebut. Dalam bayangan saya akan membentuk pola pikir yang terstruktur dari suatu informasi. Dalam satu proses kerangka bertanya, orang harus membayangkan kondisi apa yang memunculkan ide tersebut sebagai suatu jawaban.

Misalnya ketika seorang penulis berargumen bahwa globalisasi menyebabkan ketimpangan ekonomi. Ketika membaca argumen tersebut seharusnya yang dilatih adalah bertanya pertanyaan yang tepat. Misalkan, globalisasi yang mana yang dimaksud? Bentuk ketimpangan ekonominya apa? Di mana kejadian yang dijadikan contoh? Dampaknya apa? Dan seterusnya.

Dengan konstruksi berpikir demikian, ketika membaca sebuah argumen atau mengamati fenomena kita terlatih bertanya untuk menggali informasi lebih dalam. Jawabannya bisa jadi ditemukan di pengamatan selanjutnya. Atau bahkan dijelaskan oleh penulis dibagian selanjutnya. Yang membedakan adalah kita sudah berangkat dengan mindset bahwa kita perlu tahu informasi-informasi yang muncul dari pertanyaan kita tadi.

Jika dilakukan dengan konsisten akan terbentuk pola pikir yang khas ketika kita memproses suatu informasi, khususnya informasi mengenai HI.

Saya membayangkan kebingungan kawan-kawan HI pasca studi HI disebabkan karena ini. Di kepala kita banyak sekali informasi tentang HI tapi tidak disertai konteks dan runutan pertanyaan yang pas. Sehingga untuk menggunakannya kita seringkali kebingungan, apalagi menghadapi situasi riil setelah kuliah.

Bagi saya pengetahuan soal HI bisa mendukung kita di berbagai kondisi, selama dibekali dengan cara memproses informasinya.

Saya ambil contoh dari pengalaman saya sendiri.

Saya dan beberapa teman sedang merintis pusat studi yang fokus pada bagaimana mendekatkan isu-isu internasional kepada masyarakat perkotaan. Proses berpikir di baliknya adalah bahwa Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia. Surabaya punya kerjasama internasional yang aktif. Dari sini saya bertanya, dampaknya apa? Artinya secara struktur pemerintahan Surabaya tidak asing dengan kerjasama internasional. Pengamatan selanjutnya, tapi mengapa bahasan isu internasional di Surabaya belum menjadi bahasan publik?

Di kota terbesar nomor dua di Indonesia harusnya isu ini popular kan? Pengamatan selanjutnya adalah bahwa dalam globalisasi masyarakat bisa saling berinteraksi seringkali tanpa fasilitasi dari negara. Artinya peluang untuk masyarakat Surabaya sadar tentang isu-isu internasional menjad lebih besar. Then we asked the right question, what do we need to make it happen? Our finding at that time is that we need group of people who are flexible enough to maneuver between bureaucracy and fostering people to people relations. And thus, serves as the hub between stakeholders through research. And here we are.

Sebenernya struktur pendidikan di HI sudah mengarah kesini dengan menyediakan bahasan mengenai metodologi. Namun matkul metodologi seringkali disampaikan secara rigid, kaku dan tidak thought provoking sama sekali. Fokusnya hanya bagaimana cara melakukan riset, bukan cara memproses informasi secara umum.

Akhirnya pemahaman mengenai cara memproses informasinya kacau. Banyak terjadi di sesi diskusi di kelas, setelah presentasi kelompok misalnya, muncul pertanyaan-pertanyaan out of context dan tidak berhubungan dengan bahasan inti presenter. Sampai dijelaskan oleh presenter kami tidak sedang membahas itu dan bla  bla bla.

Prove that asking is a skill worth training.

Sekian dulu deh, semoga tahun 2021 lebih menyenangkan dari tahun 2020. Itu saja.

And if you ask why I am writing this, congratulations, you ask the right question! :D

 

 

 

0 comments