Beberapa waktu yang lalu di HI,
bidang yang saya geluti sebelas tahun ini muncul banyak kritik. Konon kabarnya,
lulusan HI tidak memiliki skill apapun. By
skill, maksudnya adalah kemampuan spesifik yang bisa dipakai untuk masuk
pada relasi kerja. Where you are paid to
do something, professionally.
Ini pernyataan yang jamak
dilontarkan oleh (dan kepada) alumni HI di Indonesia. Kami sudah hafal, tapi
tidak berarti kebal. Ini permasalahan laten yang akan terus ada jika tidak ada
langkah penyesuaian. Alumni HI akan ditaruh di pojokan bersebelahan dengan alumni
prodi lain yang senasib. Dianggap aneh dan tidak jelas arah dan “kegunaannya”
dalam masyarakat. Been there, done that!
Bagi saya ada fase di mana
kebingungan untuk mengetahui apa yang saya ketahui itu nyata. Di HI diajarkan
untuk mengetahui banyak hal. Diberikan, kalau tidak ingin disebut dijejali,
banyak bahan bacaan mulai dari yang menggunakan Bahasa Indonesia sampai Bahasa
Inggris, mungkin pada kasus tertentu Bahasa Mandarin. Duh!
Saya yang berangkat dari desa dengan
semangat menimba ilmu ke kota, jelas membaca semua bahan bacaan yang diberikan
dosen. Mau itu 1 eksemplar, dua, tiga, empat sampai pernah satu matakuliah ada sepuluh
bahan bacaan. Dipisah dua, required
readings dan further readings.
Jumlahnya persis masing-masing lima tiap folder.
Saya yakin dosennya pasti sudah
baca semuanya. Yakinlah, masak enggak baca terus dikasih ke mahasiswanya? Hehehe.
Logikanya makin banyak baca makin
banyak informasi yang masuk. Makin banyak informasi makin paham dong terhadap suatu hal. Tapi yang
terjadi makin banyak baca makin bingung. Dosen saya dulu pernah berseloroh,
kalau bingung bagus artinya kamu berpikir.
Sebentar Pak, ini kami bingungnya
genuine, tanpa rekayasa. Bingung kami
lebih dekat ke lost daripada ke thinking. Kan beda ya.
Bingung yang beneran “bingung”
sama bingung karena terlalu excited
menggali informasi baru. Ibarat bingungnya tuh kayak nginget-nginget jalan ke
rumah mantan yang udah nikah dengan orang lain sama mantan yang masih jomblo
kan beda bingungnya. Yang pertama lebih besar ngenest nya, yang kedua lebih
besar besar excitednya. Misalnya saja lho
ya….
Setelah ada di posisi Bapak Dosen
saya dulu itu, lha kok persoalannya
sama…persis…plek. Makin baca makin
bingung bukan hal yang positif. Artinya ada tahapan memproses informasi yang tidak
lengkap. Bagi saya membaca sebanyak apapun informasi akan sekedar menjadi
informasi belaka tanpa menjadi knowledge
yang membentuk cara pandang terhadap realita.
Jika mengambil analogi komputer,
menyuruh mahasiswa membaca bahan bejibun
hanya akan menambah timbunan data. Lebih banyak informasi yang disimpan di
dalam data tersebut. Informasi yang belum tentu bisa digunakan untuk proses
komputasi. Data yang belum tentu kita punya piranti lunak yang pas untuk
mengolahnya. Anda punya puluhan giga film di harddisk jika tidak punya piranti
lunak pemutar film puluhan giga film itu hanya jadi tumpukan data saja. Tidak
lebih!
Kita seringkali tahu banyak
sekali informasi tapi tidak paham harus bersikap apa, atau bahkan digunakan
untuk apa informasi itu. Anak HI, biasanya mahir berbicara dari mulai isu
politik di desa sampai kelakukan Amerika Serikat. Dari isu Kpop sampai konspirasi
global. Semuanya diborong sendiri. Tapi setelah selesai dengan pendidikan HI
nya, bingung mau ngapain. Kerja di bank jadi salah satu pelarian karena
menerima semua jurusan.
Dugaan saya hal ini terjadi
karena fokus upgrade nya adalah
menumpuk data sebanyak-banyaknya tapi tidak membekali audience dengan software pengolah datanya. Mewajibkan audience membaca bahan
sebanyak-banyaknya tanpa dibekali dengan cara mengolah informasi dari bacaan
tersebut juga membingungkan.
Kita jelas bukan komputer, tapi
prinsip kerjanya sama. Informasi yang banyak tanpa kemampuan untuk mengelolanya
akan sia-sia. Tidak semua mempunyai prosesor yang cepat dan canggih. Sebaiknya
yang diupgrade adalah prosesornya dahulu. Ditambah RAM nya, ditingkatkan
kecepatannya, HDD diganti SSD kemudian diinstal program-program yang relevan.
Tidak ada proses instan untuk sampai
kesana, namun yang bisa saya bayangkan sejauh ini adalah dengan membiasakan audience untuk bertanya. Lebih fundamental
lagi mengajarkan audience kita untuk
bertanya.
Bertanya adalah cara untuk
menertibkan cara berpikir. Bertanya mengenai apapun. Bertanya hal yang tepat
berdasarkan pengamatan dan pembacaan yang serius. Bertanya mengenai apa
tertulis di bahan bacaan. Menemukan ide di dalamnya kemudian membuat pertanyaan
dari ide tersebut. Dalam bayangan saya akan membentuk pola pikir yang terstruktur
dari suatu informasi. Dalam satu proses kerangka bertanya, orang harus
membayangkan kondisi apa yang memunculkan ide tersebut sebagai suatu jawaban.
Misalnya ketika seorang penulis
berargumen bahwa globalisasi menyebabkan ketimpangan ekonomi. Ketika membaca argumen
tersebut seharusnya yang dilatih adalah bertanya pertanyaan yang tepat.
Misalkan, globalisasi yang mana yang dimaksud? Bentuk ketimpangan ekonominya
apa? Di mana kejadian yang dijadikan contoh? Dampaknya apa? Dan seterusnya.
Dengan konstruksi berpikir
demikian, ketika membaca sebuah argumen atau mengamati fenomena kita terlatih
bertanya untuk menggali informasi lebih dalam. Jawabannya bisa jadi ditemukan
di pengamatan selanjutnya. Atau bahkan dijelaskan oleh penulis dibagian
selanjutnya. Yang membedakan adalah kita sudah berangkat dengan mindset bahwa kita perlu tahu
informasi-informasi yang muncul dari pertanyaan kita tadi.
Jika dilakukan dengan konsisten
akan terbentuk pola pikir yang khas ketika kita memproses suatu informasi,
khususnya informasi mengenai HI.
Saya membayangkan kebingungan
kawan-kawan HI pasca studi HI disebabkan karena ini. Di kepala kita banyak
sekali informasi tentang HI tapi tidak disertai konteks dan runutan pertanyaan
yang pas. Sehingga untuk menggunakannya kita seringkali kebingungan, apalagi
menghadapi situasi riil setelah kuliah.
Bagi saya pengetahuan soal HI
bisa mendukung kita di berbagai kondisi, selama dibekali dengan cara memproses
informasinya.
Saya ambil contoh dari pengalaman
saya sendiri.
Saya dan beberapa teman sedang
merintis pusat studi yang fokus pada bagaimana mendekatkan isu-isu
internasional kepada masyarakat perkotaan. Proses berpikir di baliknya adalah
bahwa Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia. Surabaya punya
kerjasama internasional yang aktif. Dari sini saya bertanya, dampaknya apa?
Artinya secara struktur pemerintahan Surabaya tidak asing dengan kerjasama
internasional. Pengamatan selanjutnya, tapi mengapa bahasan isu internasional
di Surabaya belum menjadi bahasan publik?
Di kota terbesar nomor dua di
Indonesia harusnya isu ini popular kan? Pengamatan selanjutnya adalah bahwa
dalam globalisasi masyarakat bisa saling berinteraksi seringkali tanpa
fasilitasi dari negara. Artinya peluang untuk masyarakat Surabaya sadar tentang
isu-isu internasional menjad lebih besar. Then we asked the right question,
what do we need to make it happen? Our finding at that time is that we need
group of people who are flexible enough to maneuver between bureaucracy and
fostering people to people relations. And thus, serves as the hub between
stakeholders through research. And here we are.
Sebenernya struktur pendidikan di
HI sudah mengarah kesini dengan menyediakan bahasan mengenai metodologi. Namun
matkul metodologi seringkali disampaikan secara rigid, kaku dan tidak thought
provoking sama sekali. Fokusnya hanya bagaimana cara melakukan riset, bukan
cara memproses informasi secara umum.
Akhirnya pemahaman mengenai cara
memproses informasinya kacau. Banyak terjadi di sesi diskusi di kelas, setelah
presentasi kelompok misalnya, muncul pertanyaan-pertanyaan out of context dan tidak berhubungan dengan bahasan inti presenter.
Sampai dijelaskan oleh presenter kami tidak sedang membahas itu dan bla bla bla.
Prove that asking is a skill worth training.
Sekian dulu deh, semoga tahun
2021 lebih menyenangkan dari tahun 2020. Itu saja.
And if you ask why I am writing
this, congratulations, you ask the right question! :D
0 comments