Dunia modern seringkali diasosiasikan
dengan dunia yang penuh dengan kontradiksi, age
of complete contradiction (Lyotard, 1979). Persoalan-persoalan kemiskinan
dalam skala global muncul ditengah modernisasi kehidupan. Perlawanan terhadap
opresi kebebasan banyak terjadi justru di era yang disebut sebagai era freedom of thought. Globalisasi justru
membuat pilihan-pilihan semakin sempit dengan hegemoni produk kultural dari
barat (Gannaway 2009). Banyak penjelasan terkait kontradiksi tersebut, yang
paling ekstrem adalah bahwa persoalan global yang terjadi disebabkan oleh
munculnya entitas politik modern nation-state
(Foucault, 1964). Munculnya nation state kemudian memunculkan konsep kedaulatan
absolut untuk mengatur populasi yang ada di dalamnya. Kedaulatan absolut yang
muncul bersama dengan nation state ini kemudian oleh kaum penganut pandangan
pascamodern dianggap sebagai penyebab complete contradiction. Absolutisme
negara dianggap sebagai penyebab munculnya absolute
thruth dan tidak memberi ruang bagi pandangan yang berbeda dengan negara.
Kritik terhadap absolutisme negara oleh
pandangan pascamodern semakin memberi arti penting studi kosmopolitanisme untuk
berkembang. Pandangan dasar dari kosmopolitanisme yang mengandaikan borderless world dianggap potensial
untuk menyelesaikan kontradiksi dunia modern (Gannaway 2009). Appiah (2006)
berargumen bahwa “real responsibility for other human beings as human beings with a deeper
sense of commitment to a political community.” Menurut Appiah yang apa yang hilang
dalam dunia modern adalah sense of
commitment terhadap persoalan-persoalan yang sifatnya global. Negara
membuat persoalan yang terjadi secara global menjadi terkotak-kotakan dalam
kerangka kedaulatan negara sehingga solusi untuk mengatasinya menjadi sangat
domestik. Sebagai contoh ketika terjadi fenomena kesenjangan sosial secara
global, solusi yang diambil selalu berdasarkan pertimbangan domestik. Tidak pernah
dicapai kesepakatan untuk menyelesaikan persoalan global ini dalam kerangka
berpikir global. Pandangan ini berseberangan dengan cara pandangan realisme
yang melihat epicentrum interaksi sosial politik adalah negara. Pandangan
realisme mengkritik bahwa kepentingan nasional adalah yang paling utama,
sehingga tindakan-tindakan negara harus ditentukan oleh aspek kepentingan
nasionalnya (Sorensen 1999).
Menanggapi kritik dari realisme tersebut,
Appiah (2006) mengatakan bahwa yang terpenting dari tindakan kolektif global
adalah understanding, bukan agreement. Yang terpenting menurut Appiah
(2006) adalah visi kolektif untuk menyelesaikan persoalan global, sedangkan
dalam cara untuk mencapai visinya bisa sangat kontekstual. Argumen Appiah
terkait visi global tersebut didasari pada kesadaran bahwa manusia sebagai part of human being mempunyai tanggung
jawab terhadap human being bukan
hanya terhadap nation-state. Argumen
ini setidaknya yang menjadi dasar bagi pandangan kosmopoitanisme. Gannaway
(2009) menyatakan bahwa kosmopolitanisme dilihat sebagai “belief that everyone
exists in a globally constructed ethical-political order.” Keterikatan sebagai
entitas global membuat tanggung jawab untuk merespon persoalan global melampaui
negara.
Respon terkait persoalan global dapat
diterjemahkan melaui bentuk solidaritas global. Seperti dikatakan Cheah (2006)
“world that is inter-connected enough to generate
institutions that have a global regulatory reach and a global form of solidarity
that can influence their functioning.” Definisi kosmopolitanisme menurut
Cheah tersebut mengandaikan adanya global
regulatory dalam bentuk institusi dalam skala global yang jangkauannya
melampaui negara. Pandangan Cheah mengenai global
regulatory sejalan dengan pandangan Held (1995) mengenai urgensi global
governance yang berasaskan demokrasi. Pandangan Held (1995) menekankan bahwa
untuk menyelesaikan persoalan global diperlukan tata pemerintahan global yang
berfungsi untuk mengatur elemen-elemen global untuk saling bekerja sama.
Secara umum pandangan kosmopolitanisme
mencakup setidaknya dua hal, yakni pandangan kosmopolitanisme mengandaikan terbentuknya
dunia tanpa batas sehingga interaksi sosial bisa terbuka sebebas-bebasnya. Yang
kedua adalah bahwa manusia terikat secara etik dan politik terhadap human being, sehingga konsideran yang
digunakan bukan lagi domestik, melainkan manusia sebagai part of human being.
Untuk sampai pada kondisi tersebut menurt Held (1995) terdapat tiga dimensi
yang harus dipenuhi yaitu kesadaran terhadap rekognisi, visi yang sama dan
kehadiran etika serta institusi global. Rekognisi yang dirujuk oleh Held disini
adalah rekognisi terhadap semua elemen identitas yang berbeda. Tidak ada
pembatas yang jelas dalam penjelasan Held mengenai rekognisi, Held
mengasumsikan bahwa setiap identitas yang berbeda harus diterima dan
direkognisi eksistensinya. Selanjutnya yang ditekankan oleh Held adalah adanya
visi yang sama, yaitu visi tentang demokrasi. Dalam poin ini demokrasi menjadi
hal yang dianggap mampu menjadi dasar terciptanya rekognisi. Permasalahnnya
kemudian, jika Held mengatakan bahwa setiap identitas yang berbeda harus direkognisi,
namun mengeapa kemudian demokrasi seolah diposiskan sebagai keniscayaan. Poin terakhir dari Held
adalah terciptanya etika dan institusi global. Dalam poin ini Held mendasarkan
pandangannya terhadap etika yang ada dalam pemahaman demokrasi.
Ketiga poin dari Held tersebut menjadi dasar
dari Kosmopolitanisme yang bersumber dari filsafat idealisme Plato dan
Socrates. Kesadaran mengenai semagat
kosmopolitanisme telah ada sejak jaman Yunani Kuno. Diktum Diogenes yang
menytakan I’m citizen of the World hadir pada masa Yunani Kuno. Sebelumnya,
Alexander The Great telah memimpin 70 kota jajahannya, dengan menjelajahi
11.000 mil serta menguasai 2juta mil persegi (bbc.co.uk t.t.). Pada jaman
Alexander The Great konsep mengenai dunia dalam satu institusi politik mulai
menampakan embrio kemunculannya. Kemudian titik penting dalam perkembangan
pandangan kosmopolitanisme adalah pada era Renaissance. Sumbangan penting
pemikiran Renaissance dalam pandangan Kosmopolitanisme adalah mengembalikan
paradigma sosial politik kembali berpusat pada manusia. Dengan kesadaran
manusia sebagai pusat interaksi dunia, maka spirit kesatuan sebagai human being semakin menguat. Setelah era
Renaissance, yang membuat kesadaran kosmopolitan semakin menguat adalah
hadirnya konsep nation-state. Seperti dijelaskan diawal tulisan, bahwa kosepsi
kedaulatan absolut yang dibawa oleh nation-state menjadikan nature manusia
sebagai bagian dari human being
tereduksi dan terbatas pada dimensi domestik negara. Ketika terjadi opresi
terhadap kesadaran manusia sebagai bagian dari human being, Kosmopolitanisme hadir sebagai anti-tesis terhadap
negara (Derrida 2001).
Menguatnya paham Kosmopolitanisme sebagai
tantangan terhadap negara tidak dapat dilepaskan dari peran globalisasi (Held
1999). Globalisasi setidaknya memberikan dua sisi terhadap Kosmopolitanisme,
yang pertama sisi positif yakni globalisasi memfasilitasi persebaran ide-ide
Kosmopolitanisme dan yang kedua globalisasi sebagai salah satu hal yang ditolak
oleh Kosmopolitanisme. Menurut Held (1999) ide-ide tentang kosmopolitanisme
tidak mungkin hadir tanpa eksplorasi dunia yang menyeluruh. Eksplorasi dunia
hanya dimungkinkan terjadi dalam era globalisasi dengan perkembangan teknologi.
Selain dari sisi perkembangan teknologi, globalisasi memfasilitasi
kosmopolitanisme dalam bidang interkoneksi. Globalisasi yang terjadi
meningkatkan interkoneksi antar masyarakat secara global, sehingga memperkuat
kemungkinan untuk mewujudkan struktur di atas negara. Dari sisi yang kedua,
globalisasi menjadi hal yang ditolak oleh Kosmopolitanisme. Argumen ini
didasarkan pada pandangan bahwa globalisasi menciptakan satu absolut truth,
yaitu westernisasi (Khor 2000). Khor (2000) menambahkan bahwa globalisasi
merupakan manifestasi dari kolonialisasi dalam bentuk baru, yaitu penjajahan
atas negara dunia ketiga oleh negara maju melalui penyeragaman yang disebut
westernisasi. Westernisasi yang disampaikan Khor (2000) bertentangan dengan Kosmopolitanisme
yang mejunjung tinggi nilai-nilai rekognisi terhadap semua identitas.
Konsepsi Kosmopolitanisme yang mengandaikan
adanya etika dan institusi global dibangun di atas solidaritas tidak lepas dari
kritikan. Kaum realis yang mendasarkan diri pada paradigma state-centric
menyatakan bahwa solidaritas hanya didasari pada aspek moralitas yang menurut
realisme tidak rasional (Lu 2002). Selain itu manajemen konflik yang didasari
pada moralitas tidak akan berjalan efektif menurut Realisme. Kritik selanjutnya
menyebutkan bahwa pada akhirnya manusia akan butuh suatu institusi yang
sifatnya otoritatif untuk mengatur kehidupan manusia. Dari paradigma yang
berbeda, Derrida (2001) mengatakan tidak cukup hanya merekognisi perbedaan
namun juga harus ada dimensi forgiveness.
Konsep forgiveness yang disampaikan Derria penting untuk menjamin
solidaritas antar masyarakat tetap terjaga, khususnya yang mempunyai sejarah
kolonialisasi. Sebagai contoh, bagaimana mungkin masyarakat Afrika Selatan
mampu mengembangkan solidaritas untuk masyarakat kulit putih yang pernah
menjajah Afrika Selatan? Menurut Derrida jalan yang paling mungkin dilakukan
adalah mengembangkan forgiveness untuk
mewujudkan solidaritas global.
Daftar Pustaka
Appiah,
Kwame Anthony. 2006. Cosmopolitanism:
Ethics in a World of Strangers (Issues of Our Time). W. W. Norton &
Company.
Bbc.co.uk.
t.t. Alexander the Great (356 - 323 BC) [online] dalam http://www.bbc.co.uk/history/historic_figures/alexander_the_great.shtml
Cheah,
Pheng. 2006. Cosmopolitanism. Theory Culture Society.
Derrida,
Jacques. 2001. On Cosmopolitanism and
Forgiveness. London and New York: Routledge.
Foucault,
M. 1964. Madness and Civilization. Phanteon
Books.
Gannaway,
Adam. 2009. What is Cosmopolitanism? MPSA Conference Paper.
Khor, M. 2000. Globalization and the South: Some
Critical Issues Penang: Third
World Network.
Lyotard, J.F. 1979. The Postmodern Condition.
Minnesota: University
of Minnesota Press.
Held,
David. 1995. Cosmopolitanism: Ideals and
Realities. London: Polity.
Jackson,
R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxford
University Press.
Lu, Chaterine. 2000. The One and Many faces of Cosmopolitanism. The Jurnal of Political
Philosophy 8(2).
0 comments