Mungkin ada dua hal paling sia-sia di muka bumi, menggarami lautan selayaknya peribahasa dan mengingatkan bahaya corona kepada orang tua kita. Yang pertama mungkin hanya kiasan, yang kedua saya mengalami sendiri.
Setelah himbauan social distancing oleh Presiden Jokowi sejak tiga hari lalu saya segera menghubungi ibu di kampung halaman. Mengabarkan bahwa sekarang saatnya membatasi kegiatan di luar rumah serta membatasi interaksi sosial. Panjang lebar saya jelaskan apa yang menurut saya informasi valid mengenai bahaya, penularan dan pencegahan virus ini. Namun hanya dijawab singkat, “terima kasih sarannya.”
Usut punya usut, ibu saya tetap melanjutkan kegiatan seperti biasa, ke pasar untuk belanja dagangan sayur, hingga ikut pengajian rutin tetap dijalani.
“Tiga hari berlalu, saya yang menyerah.”
Saya yakin saya tidak sendirian. Banyak diantara kalian yang mengalami hal yang sama, mengabarkan informasi baru soal perkembangan covid 19 ke orang tua namun mental di depan jawaban, “ halah gitu aja…” Jika kalian mengalami hal yang sama, mungkin kita baru saja menjadi korban perbedaan generasi.
Orang tua kita mungkin adalah generasi yang lahir pada jaman perang dingin. Kondisi di mana ketegangan internasional sangat tinggi, namun konflik tidak sampai ke akar rumput layaknya perang dunia pertama dan kedua. Konflik pada jaman ini seolah jauh dari kehidupan sehari-hari. Tidak ada perang melawan penjajah di depan mata. Soviet tidak pernah menembakkan nuklir miliknya, pun dengan Amerika Serikat, setidaknya pasca Hiroshima-Nagasaki.
“Robin Wassserman, seorang penulis berkebangsaan Amerika Serikat, pernah mencuit no matter how scary things look,the Bad Things never actually happens.”
Masuk akal. Hasilnya adalah generasi yang idealis dan cenderung abai terhadap resiko. Pada masa orang tua kita tumbuh, apa yang disebut ancaman harus nampak. AS, Soviet, nuklir, perang, kelaparan dan sebagainya. Mungkin memori kolektif mereka tidak dapat merangkum pengalaman persepsi ancaman dari hal yang tidak dapat indra, infeksi virus misalnya.
Sekeras apapun imbauan yang digaungkan otoritas mengenai bahaya covid19, kalau baby boomer tidak punya gambaran ancaman dari barang yang enggak kelihatan ya mental.
Persoalan selajutnya adalah himbauan social distancing membatasi hal esensial bagi masyarakat Indonesia, khususnya daerah rural, yakni komunalisme dalam interaksi sosial. Sifat yang dapat dijelaskan melalui konsep paguyuban (gemeinschaft) cetusan sosiolog Jerman Ferdinand Tonnies.
Ya betul, itu konsep yang kita pelajari di mata pelajaran sosiologi SMA dulu. Ternyata bisa menjelaskan kondisi kekinian. Berguna kan ternyata. Hehehe
Salah satu sifat menonjol dari paguyuban adalah sifat kekerabatan yang masih kuat. Jika kita jalan-jalan ke kampung, daerah pedesaan maksudnya, bukan daerah kampung di Jakarta atau Surabaya, sangat mungkin satu gang dihuni oleh orang-orang yang punya ikatan kekerabatan.
Rumah pertama adalah rumah Budi. Rumah kedua adalah rumah kakak Budi. Rumah ketiga adalah rumah paman Budi. Dan seterusnya sampai rumah terakhir mungkin adalah saudara sepupu dari kakak ipar kakek Budi. Begitulah, ruwet tapi sederhana. Ujung-ujungnya Budi.
Model masyarakat ini biasanya memegang prinsip “makan enggak makan yang penting kumpul.” Kumpul-kumpul bagi masyarakat ini sangat penting untuk menjaga eksistensi sosial. Dalam masyarakat rural eksistensi sosial setara dengan penampakan secara fisik. Kalau enggak pernah keliatan kumpul-kumpul maka siap-siap dicoret dari kartu keluarga.
Ngumpul-ngumpul juga jadi sarana untuk menjaga dukungan sosial. Di daerah rural tidak ada pinjaman online seperti di daerah urban. Support system yang paling dekat adalah keluarga. Kalau besok tidak ada yang dimakan, waktu ngumpul-ngumpul bisa numpang makan ke rumah bude atau bulik. Aman. Toh pemerintah nyuruh di rumah aja tapi enggak ngasih makan juga hehehe.
Kebiasaan ini akhirnya terlembaga menjadi norma yang dianut bersama. Kalau tinggal di daerah rural, apalagi se-gang saudara semua ya harus ngumpul-ngumpul. Menghimbau social distancing bagi masyarakat rural sama saja dengan mencerabut kelompok masyararakat ini dari akar budayanya. Bisa tapi butuh usaha, enggak selesai dengan himbauan saja.
Selanjutnya, boomer juga sedang mengalami apa yang saya sebut sebagai puber informasi. Kebanyakan dari mereka yang tumbuh di era perang dingin terpukau dengan kecanggihan teknologi. Jaman para boomer remaja, komunikasi belum semaju sekarang. Telepon privat adalah barang mewah, tidak dapat diakses oleh sembarang orang. Karena kelangkaannya, informasi yang disampaikan lewat telepon biasanya penting. Sayangnya kebiasaan ini terbawa ke era whatsapp di mana arus informasi semakin deras dan tidak terkontrol.
Dampaknya, banyak sekali hoaks tentang covid19 yang bertebaran di grup-grup whatsapp. Amatan kasar saya, mayoritas penyebarnya ada dalam kategori boomer. Kebanyakan pesannya adalah soal cara menangkal covid19, cara menyembuhkan sampai sentimen terhadap kelompok tertentu yang dianggap pembawa virus. Klaim yang tentu belum teruji secara ilmiah.
Masalahnya adalah informasi ini disebarkan secara konsisten. Parahnya lagi, banyak yang percaya.
Contoh yang sering saya temui adalah disinformasi mengenai cara tes covid19 hanya sepuluh detik dengan menahan nafas selama sepuluh detik. Dalam lingkaran pertemanan saya,banyak yang percaya. Jika diingatkan ini hoaks, akan muncul percikan api ketersinggungan oleh bapak ibu om tante pakde bude kita ini.
Masalahnya adalah penanganan virus ini tidak bisa dilakukan secara parsial, harus kolektif. Butuh partisipasi publik untuk sadar potensinya sebagai pembawa virus dan bahayanya dampaknya bagi orang lain. Maka pilihan paling masuk akal adalah membatasi ketemu orang atau berada di tempat umum.
Karenanya mengajak para boomer untuk tinggal berdiam di rumah dan membatasi interaksi sosial mutlak diperlukan. Usul saya pemerintah perlu pakai resep jaman perang dingin. Yang keluar rumah untuk jalan-jalan disebut komunis. Yakin langsung masuk rumah semua, daripada masuk barak.
*Dipublikasikan pertama kali di locita.co oleh Dias Pabyantara
0 comments