Menikah, Minta Restu pada Negara



BEBERAPA waktu lalu Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan tuntutan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan gerakan masyarakat sipil.

MK akhirnya memutuskan untuk memberikan tenggat waktu 3 tahun kepada DPR sebagai lembaga legislatif untuk merevisi batas bawah usia pernikahan di Indonesia. Selama ini menurut UU No. 1 tahun 1974, usia boleh menikah di Indonesia adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.

Aturan ini dinlilai diskriminatif terhadap perempuan oleh banyak pihak sehingga dilayangkan uji materi terhadap aturan tersebut. Keputusan MK melimpahkan kepada DPR memunculkan respon yang beragam.

Beberapa kalangan menilai hal ini justru memperumit birokrasi, di sisi lain putusan MK ini dinilai layak untuk diapresiasi sebagai prestasi. Terlepas dari dua pandangan tersebut, yang layak diapresiasi selain usaha kawan-kawan untuk memperjuangkan apa yang dianggap benar adalah mulai munculnya isu-isu vital dalam narasi arus utama politik kita. Pernikahan salah satunya.

Pernikahan selama ini dianggap sebagai keniscayaan dan tidak mendapat ruang diskusi dalam narasi arus utama. Narasi yang selalu diulang-ulang adalah sekolah yang rajin, dapat pekerjaan cemerlang kemudian menikah dan hidup bahagia. Pertanyaannya apakah hidup lurus-lurus saja begitu?

Di setiap prosesnya ada satu hal yang penting yaitu politik. Berapa lama Anda sekolah, usia berapa mulai sekolah, berapa jam hidup Anda yang harus dihabiskan di sekolah, berapa pendapatan Anda setelah bekerja, berapa lama harus bekerja hingga tabungan Anda cukup untuk resepsi, berapa usia minimal untuk akad, itu semua hasil dari proses politik Bung!

Pernahkah Anda bertanya yang mengatur urusan itu semua siapa? Jawabannya singkat, tapi konsekuensinya panjang: negara. Apa urusannya negara mengatur itu?

Begitukan pertanyaan Anda? Lhoalah, tugas negara yang paling substansial ya itu, mengatur fase hidup, arah kehidupan dan arah perkembangan masyarakatnya, sampai mengatur siapa yang punya harapan hidup lebih tinggi maupun rendah.

Caranya melalui sistem tata kelola yang dihasilkan dari proses politik. Masih ingat beberapa waktu yang lalu BPJS mengalami permasalahan finansial, yang mencak-mencak orang se-Indonesia? BPJS itu cuma cara, di balik itu esensinya negara punya kuasa menentukan siapa yang umurnya panjang.

Siapa yang harapan hidupnya pendek melalui politik penyedia layanan kesehatan. Bahasa kerennya fungsi negara itu fungsi biopolitics , artinya mengatur tubuh dari setiap warga negaranya biar sesuai kepentingan pemegang kuasa.

Biopolitics yang dilakukan negara tidak selalu berkonotasi negatif kok. Dalam pernikahan contohnya. Untuk kasus Indonesia penting agar negara meregulasi terhadap proses pernikahan.

Di Indonesia menurut data UNICEF tahun 2016 Indonesia menempati peringkat ke-7 di dunia dalam hal jumlah perkawinan anak. Data ini kemudian dilengkapi BPS dengan menyebut tahun 2015 sebanyak 11% dari total perkawinan di Indonesia dilaksanakan oleh anak usia 10-15 tahun, sedangkan umur 16-18 tahun sebesar 32%.

Data ini jelas memprihatinkan. Anak usia 15 tahun harusnya masih menyerap berbagai input pengalaman hidup untuk bekal puluhan tahun hidupnya kedepan, bukan memikirkan kehidupan rumah tangga.

Ya , kita paham barangkali pernikahan adalah salah satunya tapi bukankah lebih indah jika yang menjalani pernikahan dibekali dengan pengalaman dan kontrol diri yang mumpuni?

Data Komnas Perempuan tahun 2016 menyebutkan bahwa pada usia 13-18 tahun terdapat 1494 korban kekerasan dalam ruamah tangga dan 514 pelaku KDRT.

Di Indonesia menikah selalu lekat dengan dimensi kebudayaan. Stigma bahwa individu yang belum menikah melewati usia pubertas dianggap aib adalah akar permasalahannya. Dalam banyak kebudayaan di Indonesia memang secara turun temurun dilakukan praktik nikah usia dini.

Namun seiring perkembangan jaman praktik ini perlu ditinjau dan diregulasi ulang. Konsekuensi dari maraknya nikah muda atas dasar tradisi turun temurun sudah terbukti menambah masalah sosial. Pemerintah wajib hadir sebagai pemegang kuasa dan menentapkan batas bawah usia nikah.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yoana Yembise mengusulkan angka 20 tahun untuk perempuan dan 22 tahun untuk laki-laki. Saya kira ini masuk akal.

Yang dibutuhkan Indonesia dengan situasi sosial, ekonomi dan politik yang ada adalah menaikan batas bawah usia minimal permikahan. Hal ini berkaitan erat dengan konsep kedewasaan (adulthood).

Dalam masyarakat Indonesia yang telah mengalami tata kelola kehidupan 12 tahun pendidikan wajib, angka 20 tahun saya rasa masuk akal. Umur 7 tahun asumsikan mulai masuk pendidikan dasar, umur 19 tahun asumsikan lulus pendidikan atas.

Jeda waktu 1 tahun dapat dimanfaatkan untuk menabung bekal materi dan pengalaman untuk memasuki kehidupan pasca menikah.

Dari sisi statistik medis, perempuan usia 10-14 tahun beresiko 5 kali lebih besar meinggal dalam persalinan dibandingkan kelompok umur 20-24 tahun. Dan kelompok umur 15-19 tahun memilki resiko dua kali lipat dibanding kelompok umur 20-24 tahun.

Bahkan di Etiopia, Nigeria dan Kamerun ibu usia 16 tahun kebawah bahkan beresiko 6 kali lipat dari pada usia 20 tahun ke atas. Usia 20 dan 22 tahun juga dianggap sudah mampu berpikir dewasa dengan memasukan variabel consent dalam keputusannya.

Konsen ini penting mengingat pernikahan melibatkan dua orang dan menyatukan dua kepala tidak semudah membalikan telapak tangan. Rambut boleh sama hitam, tapi isi kepala siapa tahu.

Negara harus memfasilitasi ini melalui regulasi yang jelas mengenai kapan seseorang dianggap memenuhi syarat menikah, setidaknya dari sisi usia.



Karena pernikahan adalah proses konsensual yang memerlukan manusia dewasa untuk memutuskannya.

Dan kategori dewasa itu ditentukan oleh proses politik negara.



*Dipublikasikan pertama kali di locita.co oleh Dias Pabyantara

0 comments