Enam Belas Hari Melawan Kekerasan terhadap Laki-Laki dan Perempuan


Tanggal 25 November sampai dengan 10 Desember adalah 16 hari yang disepakati sebagai rangkaian hari anti kekerasan terhadap perempuan (HAKTP). Mulai tahun 2000, Majelis Umum PBB menetapkan tanggal 25 November sebagai hari anti kekerasan terhadap perempuan. Latar belakang penetapan ini adalah untuk menghormati dan mengenang empat bersaudara Patria, Minerva, Maria dan Dede Mirabal yang dibunuh karena menentang rezim otoriter Rafael Trujillo di Republik Dominika tanggal 25 November 1960.
Peringatan HAKTP di berbagai negara dilakukan secara beragam. Di Madrid, women march menjadi penanda peringatan hari anti kekerasan terhadap perempuan. Australia memperingatinya sebagai white ribbon day. Sedangkan di Istanbul, Turki, penyampaian aspirasi di jalanan kota berakhir dengan bentrok antara peserta aksi dan pihak kepolisian. Di Indonesia sendiri peringatan 25 November sekaligus rangkaian kampanye 16 hari yang mengikutinya diisi dengan kolaborasi antara Komnas Perempuan dengan berbagai gerakan berbasis gender. Beragam diskusi dan acara kesenian digelar untuk saling mengingatkan dan menyadarkan mengenai dampak kekerasan terhadap perempuan.
Mayoritas dari kita mungkin paham benar dengan posisi dan konsekuensi perempuan sebagai korban kekerasan. Dampak fisik, psikis maupun sosial yang mengerikan mengintai setiap perempuan dalam struktur budaya yang patriarki. Kita semua, saya yakin sepakat bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah hal yang tidak patut untuk ada dalam relasi sosial. Namun yang seringkali alpa untuk didiskusikan adalah kekerasan terhadap laki-laki yang mulai muncul kepermukaan. Momen ini penting untuk menjadi pengingat kita semua bahwa kekerasan baik fisik, verbal, psikis maupun seksual dapat terjadi kepada siapa saja.
Tagar #metoo yang viral beberapa waktu lalu tidak hanya membuka perilaku kekerasan berbentuk pelecehan seksual terhadap perempuan, namun juga kepada laki-laki. Aktor dan penyanyi Anthony Rapp misalnya menuliskan melalui akun twitter bagaimana dia mengaku dilecehkan oleh Kevin Spacey saat dia berusia 14 tahun.
Dampaknya, Rapp menderita trauma berkepanjangan. Di Indonesia pelecehan terhadap laki-laki dapat dilihat ketika dunia internet ramai-ramai melontarkan kata-kata sensual kepada Jonathan “Jojo” Christie saat dia melakukan selebrasi kemenangan dengan membuka baju. Ovarium meledak, rahim anget sampai buka celana adalah komentar-komentar yang dilontarkan kepada Jojo saat itu. Menjijikan? Jelas. Melecehkan? Iya. Ini adalah salah satu bukti bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban pelecehan seksual.
Berbicara data statistik, Komisi Perlindungan Anak Indonesa (KPAI) tahun 2017 menyatakan bahwa dalam tahun tersebut terhadap 116 kasus yang melibatkan laki-laki sebagai korban pelecehan seksual. Kemudian awal 2018 KPAI menyebutkan mayoritas korban pelecehan seksual adalah anak laki-laki. Sebanyak 232 anak laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual di seluruh Indonesia pada trisemester awal 2018. Pada titik ini rasanya sah saja mengatakan bahwa secara statistik anak laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang sama menjadi korban pelecehan seksual.
Namun mengapa laki-laki jarang sekali melaporkan pelecehan yang dialami? Dugaan saya mengarah pada konstruksi maskulinitas yang disematkan pada laki-laki. Laki-laki dipersepsi sebagai sosok yang maskulin, tidak emosional, rasional, tidak lemah, mampu mengatasi masalah secara mandiri dan sederet stigma maskulin lainnya. Faktanya tentu tidak demikian. Pada dasarnya baik laki-laki maupun perempuan adalah makhluk yang sama-sama mempunyai emosi, dalam arti laki-laki juga mempunyai kemampuan untuk mengekspresikan perasaan. Yang membuat laki-laki seolah tidak pernah menunjukan emosinya adalah konstruksi sosial masyarakat yang menuntut laki-laki bersikap demikian. Sayangnya, mayoritas laki-laki bertindak sesuai dengan tuntutan ini.
Tuntutan maskulinitas terhadap laki-laki itulah yang menyebabkan laki-laki jarang menempuh jalur hukum maupun advokasi terkait dengan pelecehan seksual yagn dialaminya. Melapor kepada yang berwenang artinya harus siap mati dikebiri oleh pedang-pedang stigma sosial yang maskulin. Laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual dianggap tidak punya masa depan, dalam kaitan ini sama dengan perempuan korban pelecehan seksual. Selain itu laki-laki korban pelecehan seksual juga akan merasakan “ada diposisi perempuan”. Artinya mereka dilucuti previlege-nya sebagai laki-laki dalam struktur yang patriarki.
Prinsip don’t ask don’t tell yang berlaku di militer Amerika Serikat bisa dijadikan contoh. Walaupun tidak sepenuhnya sesuai konteksnya, namun kira-kira prinsipnya sama. If you are a gay, nobody needs to know. Just do your private things secretly and everything will be fine, kira-kira demikian prinsipnya. Hal ini muncul karena dalam struktur militer yang mengglorifikasi maskulinitas, menjadi gay artinya salah satu harus mengisi posisi perempuan dalam hubungan heteroseksual. Di-perempuan-kan adalah padanan kata yang berkonotasi negatif dalam dunia militer. Bayangkan jika hubungan tersebut didasari rasa keterpaksaan. Dampaknya pasti destruktif berkali lipat!
Sampai di sini saya kira kita bisa sepakat jika kekerasan berbasis gender tidak hanya bisa mengancam perempuan, namun juga laki-laki. Hal ini jelas perlu disikapi secara berkelanjutan, tidak terbatas pada kampanye 16 hari. Salah satu yang dapat dilakukan adalah mulai membicarakan seks dan pembagian relasi gender sebagai hal yang konsensual. Konsensual artinya semua harus disepakati dalam kerangka hubungan yang setara. Teknisnya bisa dilakukan melalui pemberian pendidikan seks secara formal dan informal. Pendidikan seks tidak hanya membahas mengenai cara berhubungan seks, yang akhirnya dikhawatirkan melanggengkan seks bebas oleh masyarakat awam. Stop kesalahan logika seperti itu.
Pendidikan seks artinya mengenalkan sedini mungkin mengenai seksualitas individu, baik laki-laki maupun perempuan. Mengenai kesehatan reproduksi, hubungan seksual yang sehat, pernikahan yang rasional maupun kehamilan yang direncanakan. Jika setiap individu mengenal dengan jelas seksualitasnya, diharapkan kontrol terhadap diri dan seksualitasnya akan meningkat.
Dari sini kita dapat berharap untuk mengurangi secara signifikan angka kekerasan terhadap laki-laki dan perempuan. Tidak mudah memang karena cara ini akan mendobrak pakem-pakem yang langgeng dalam fondasi mendasar masyarakat patriarki. Tapi jika hasil yang potensial dicapai adalah pengurangan angka kekerasan berbasis gender, then it’s really worth a shot!
Sekali lagi selamat hari anti kekerasan terhadap perempuan sedunia. Selama berkampanye, selamat berdiskusi dan selamat menebar jejak-jejak kesetaraan gender di atas puing-puing patriarki. Salam kesetaraan!

*Dipublikasikan pertama kali di locita.co oleh Dias Pabyantara

0 comments