Menurut rilis dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per Oktober tahun 2018 jumlah total narapidana yang tercatat pada Ditjen PAS adalah 167. 695 orang narapidana dewasa laki-laki (NDL) dan 10.013 orang narapidana dewasa perempuan (NDP). Jumlah keduanya berbeda sangat jauh jika dilihat secara kuantitas. Jumlah NDP sekitar 16 kali lipat jika dibanding jumlah total NDL diseluruh Indonesia. Pertanyaan kemudian mengapa laki-laki banyak menjadi pelaku kejahatan dibandingkan perempuan?
Dari sudut pandang studi gender hal ini bisa terjadi karena ekspekstasi peran sosial yang berlebihan terhadap laki-laki dan pada saat yang sama terjadi reduksi terhadap peran sosial perempuan dalam proses sosial. Laki-laki kerap dibebani dengan ekspektasi berlebihan dalam interaksi sosial sehingga memunculkan tuntutan terhadap laki-laki.
Dalam budaya populer misalnya, kencan antara laki-laki dan perempuan selalu digambarkan diakhiri dengan laki-laki yang bayarin dan perempuan tersipu malu karena dibayarin. Ini ada dihampir setiap budaya pop yang beredar disekeliling kita. FTV, sinetron, film hampir semua menampilkan kesan yang sama. Kecuali sinetron bertema azab tentunya. Ini jelas mengkhawatirkan, mengingat tontonan ini yang dikonsumsi masyarakat kita setiap hari.
Dalam budaya pop kita, penggambaran hubungan laki-laki dan calon mertua juga mengerikan. Apa dasarnya menjadikan martabak sebagai media penegas dominasi dan ekspektasi berlebihan terhadap laki-laki? Fun fact, tidak semua laki-laki mampu membelikan martabak untuk calon mertuanya setiap malam minggu.
Anggaplah harga martabak 30 ribu dikali 52 minggu setahun sampai 1,5 juta budget yang harus dikeluarkan untuk martabak saja. Barang yang potensial tidak dinikmati oleh gebetannya karena konstruksi kecantikan perempuan yang populer adalah kurus. Bayangkan mas-mas itu harus menyisihkan 120rb perbulan dari gajinya yang bisa jadi di bawah UMR, kan berat.
Fun Fact kedua, tidak semua orang tua yang mempunyai anak perempuan, menyukai martabak. Kadang-kadang ada tipe calon mertua yang tidak melihat dari kamu bawa, tapi dari kualitas dirimu. Ditemani ngobrol soal kebijakan luar negeri pemerintah saja sudah senang. Pacar anaknya bisa jelaskan secara runut bagaimana peluang tiap capres sudah dianggap keren dan rela anaknya diajak malam mingguan.
“Bapak enggak perlu martabak. Kalau kamu kasih martabak terus naik kolestrol bapak!” katanya.
Anggapan bahwa laki-laki harus mampu mentraktir dan perempuan yang harus ditraktir atau membawakan camer martabak untuk calon mantu laki-laki sudah sangat ketinggalan jaman. Jaman Orba mungkin iya, kalau kamu anggota PKK dan Dharma Wanita yang didoktrin posisinya pendamping laki-laki. Bukankah hubungan antar pasangan harusnya tidak saling memberatkan? Bukankah lebih indah kalau yang bayar adalah yang lagi punya rejeki lebih? Atau bayar sendiri-sendiri. Tapi kayaknya yang terakhir ini blas enggak ada romantis-romantisnya. Gantian ajalah, pasti lebih asik!
Contoh lain, jaman SD dulu gelanggang politik yang paling sakral bukan Pilpres atau Pileg, tapi “Pitulas” Pemilihan Ketua Kelas. Saya adalah contoh hidup bagaimana beratnya ekspektasi berlebihan terhadap laki-laki terjadi. Ceritanya jaman SD dulu ketua kelas dipilih berdasarkan ranking di kelas. Yang ranking 1 jadi ketua kelas, yang ranking 2 jadi wakil, yang ranking tiga jadi Ketua DPR bendahara dan seterusnya.
Saya yang masih lugu waktu itu blas enggak ada kepengenan untuk jadi ketua kelas. Gimana saya bisa main bola di kelas kalau saya yang bertugas menertibkan kelas, pikir saya. Di kelas 3 saya ranking kedua. Menurut aturan turun temurun yang berlaku di sekolah saya, harusnya yang ranking pertama yang jadi ketua kelas. Tapi kok kebetulan yang ranking satu perempuan, sebut saja Mawar.
Harusnya dia yang jadi ketua kelas, tapi wali kelas saya bilang kalau Mawar perempuan dan saya diangkat secara sepihak sebagai ketua kelas karena saya laki-laki sedangkan perempuan seperti Mawar ini tidak tegas. Ini kan ngaco, apa dasarnya ketua kelas harus laki-laki? Emang kalau perempuan jadi ketua kelas kenapa?
Begini ya, ketua kelas jaman SD itu sosok antagonis di kelas. Enggak asik banget. Saat yang lain rame ketua kelas harus menegur, bahkan nyatet namanya di kertas buat dikasih ke guru. Gak asik kan.
“Jangan renggut kebahagiaan masa kecil saya!” gumam saya saat itu.
Jelas saya waktu itu enggak minat lho jadi ketua kelas. Cuma karena saya laki-laki makanya saya harus begitu? Ini kan enggak adil, baik bagi saya maupun bagi si Mawar. Gara-gara patriarki, karir saya sebagai pemain bola di dalam kelas harus kandas! Bah! Si Mawar juga enggak bisa dapat haknya sebagai ketua kelas.
Kalau kondisi masyarakat kita demikian, sepertinya logis kalau laki-laki banyak menjadi pelaku kejahatan. Ekspektasi terhadap maskulinitas yang berlebihan menjadi dasarnya. Gimana kalau ternyata si mas-mas itu waktu mau ngapel gak punya duit buat traktir pasangannya atau beli martabak untuk camernya? Terus hutang sudah berbaris minta dilunasi?
Kejahatan potensial jadi pelarian. Poinnya adalah ekspektasi yang berlebihan terhadap performa salah satu gender adalah persoalan sistemik. Patriarki adalah masalah bersama karena dampaknya dirasakan oleh semuanya. Narasi bagaimana perempuan teropresi sering kita dengar, dan kita semua sepakat hal tersebut. Yang relatif jarang disuarakan adalah bagaimana patriarki sebagai sebuah episteme yang diskriminatif berdampak kepada maskulinitas dan feminitas. Gimana sudah cukup rasional? Kan laki-laki. Duh!
*Dipublikasikan pertama kali di locita.co oleh Dias Pabyantara
0 comments