Akhir tahun lalu saya dan seorang kolega diminta menulis untuk salah satu jurnal di India tentang pengalaman Indonesia menghadapi gelombang politik identitas yang mengikuti pilpres 2019. Mendekati pilpres 2019 lalu, Indonesia seakan terpecah menjadi dua. Kalau kamu bukan pendukung Jokowi, pasti pendukung Prabowo. Hitam Putih. Jokowi disebut memihak pasar sedangkan Prabowo disebut memihak kelompok agama.
Ternyata, India juga mengalami kondisi yang hampir serupa. Empat bulan setelah artikel kami terbit, Pemerintah India mengesahkan amandemen Undang-Undang Kewarganegaraan. Isinya, imigran yang beragama Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi, dan Kristen dan berasal dari negara tetangga Afghanistan, Bangladesh dan Pakistan, akan dipercepat untuk mendapat status kewarganegaraan India, jika mereka datang sebelum 2015.
Hal ini sontak membuat geger, karena ada juga imigran beragama Islam yang juga berasal dari negara-negara tersebut tapi tidak disebut dalam amandemen.
Pasca amandemen UU ini berlaku India seolah terpecah menjadi dua, mayoritas Hindu dan minoritas Muslim. Akhir Desember 2019, terjadi bentrok di daerah Uttar Pradesh Utara yang ditinggali Muslim dalam jumlah lumayan. Setidaknya 30 orang menjadi korban dalam insiden ini. Kerusuhan terus berlanjut sampai 27 Februari lalu korban bertambah sebanyak 33 orang.
Amandemen UU ini adalah hasil dari politik identitas yang terjadi di India sejak tahun 1951. Pada tahun ini pemerintah India memilah penduduk India berdasarkan agama yang dianut. Dampaknya sentimen berdasar agama muncul ke permukaan dan terlembaga mulai saat itu. Sampai sekarang pemerintah India sering dituduh anti-Islam. Apalagi pertemuan Perdana Menteri India, Narendra Modi, dengan Donald Trump minggu lalu membuat citra anti-Islam Modi menguat.
Hindu dan Muslim di India punya sejarah panjang soal gesekan identitas. Salah satu yang sering dibahas adalah tahun 1947 ketika pecah konflik antara Hindu-Muslim dimana kelompok Muslim diancam dideportasi ke Pakistan. Konflik ini kemudian ditengahi oleh Mahatma Gandhi dengan cara yang unik, yaitu puasa. 13 Januari 1948 Gandhi menulis pada muridnya, Miraben, bahwa ini adalah puasa paling penting dalam hidupnya. Dan Gandhi tidak akan berhenti sebelum tercipta perdamaian antara Hindu dan Muslim di India. Akhirnya, konflik identitas di India berhenti untuk sementara.
Jalan puasa dipilih Gandhi karena dia ingin mengangkat narasi perdamaian dengan jalan yang benar-benar damai. Kondisi saat itu otoritas politik India berpihak kepada mayoritas Hindu. Gandhi paham benar bahwa konflik identitas amat dekat dengan sentimen dan stigma, keduanya seringkali tidak rasional. Maka pendekatannya tidak bisa hanya dari perundingan dan kebijakan. Perlu pendekatan kultural untuk menyentuh hati setiap pihak yang berkonflik agar tercipta perdamaian yang bertahan lama.
India dan Indonesia sebenarnya punya banyak kesamaan. India adalah negara demokrasi dengan populasi penduduk terbesar di dunia, sedangkan Indonesia terpaut dua peringkat di bawahnya. Keduanya sama-sama negara demokrasi dengan jumlah populasi luar biasa. Secara kultural Indonesia dan India juga terdiri dari beragam identitas budaya. India didominasi pemeluk Hindu, Indonesia mayoritas pemeluk Islam. Hubungan antar identitas pun hampir sama. Di India rawan gesekan, di Indonesia banyak narasi diskriminatif yang menghiasi ruang publik, tidak begitu berbeda.
Kesamaan diatas mengandung peringatan penting. Apapun yang terjadi di India terkait dengan politik identitas bisa saja terjadi di Indonesia. Karena semua prasyaratnya terpenuhi. Identitas yang beragam, ada identitas mayoritas, ada banyak kasus diskriminasi terhadap identitas tertentu dan politik identitas mulai masuk kedalam lembaga publik. Dan satu lagi yang paling penting negara yang terkesan melakukan pembiaran ketika terjadi diskriminasi terhadap identitas.
Kasus-kasus semacam perusakan musala di Minahasa Utara, penolakan renovasi gereja Katolik Santo Joseph di Tanjung Balai, Karimun, penolakan kegiatan Ahmadiyah di Depok, dan protes pembangunan Baptis Indonesia Tlogosari, Semarang adalah contoh mutakhir bagaimana Indonesia juga mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda dengan India. Sama-sama mempunyai masalah serius terkait politik identitas.
Kondisi ini kontradiktif dengan pernyataan Wapres Ma’ruf Amin yang meminta India mencontoh toleransi yang ada di Indonesia.
Cara berpikir yang terbalik. Seharusnya Indonesia yang belajar banyak dari India. Pelajaran pertama yang bisa diambil adalah bagaimana untuk tidak melakukan kesalahan yang sama dengan India. Bagaimana negara seharusnya mengelola keberagaman agar tidak sampai terjadi kekerasan berbasis intoleransi agama.
Dalam kejadian di India, UU Amandemen kewarganegaraan adalah bukti keberpihakan pemerintah terhadap mayoritas. Namun ketika Muslim minrotas protes, disambut dengan kekerasan.
Di Indonesia agak berbeda derajatnya. Pemerintah tidak langsung melakukan kekerasan, melainkan pembiaran. Tengok bagaimana respon pemerintah terhadap GKI Yasmin. Sampai sekarang nihil. Tidak ada solusi yang pasti. Kasus lain, penolakan renovasi gereja di Karimun, yang tidak kunjung diintervensi oleh pemerintah. Banyak lagi kasus lainnya yang tidak habis jika dibahas berlembar-lembar.
Pemerintah seharusnya sadar, jika tidak mau nanti disebut ingkar, kondisi toleransi beragama di Indonesia juga tidak baik-baik amat. Kasus intoleransi masih jadi pekerjaan rumah yang mengantre untuk diselesaikan. Maka seharusnya Indonesia yang belajar banyak dari India, agar tidak mengalami kejadian serupa.
Belajar mengelola keberagaman mendesak dilakukan. Jika tidak apa yang terjadi di India sekarang, berpotensi terulang di Indonesia 4 tahun ke depan. Tahu kan 4 tahun kedepan ada apa?
*Dipublikasikan pertama kali di locita.co oleh Dias Pabyantara
0 comments